GF—18

Jaemin dengan cepat menyembunyikan tubuhnya dibalik dinding terdekat ketika Jeno membalikkan tubuhnya dengan cepat. Jaemin menekan punggungnya ke dinding saat suara yang ia kenali, suara langkah kaki, terdengar.

“Aku tahu kamu di sana, Jaemin.”

Jaemin memejamkan matanya sejenak, menghirup oksigen banyak-banyak meskipun tanpa oksigen ia juga bisa hidup, lalu membuka matanya kembali.

Jaemin menggeser tubuhnya hingga punggungnya tidak lagi menempel dengan dinding. Ia membalikkan badan dan melihat Jeno yang ada di depannya, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Dahi Jaemin mengernyit saat melihat Jeno hanya sendiri. Seingatnya Jeno pergi dari rumah mengajak Haechan.

“Kamu kayak lagi cari orang.” Jeno melangkah maju. “Cari Haechan?”

Jaemin tidak menjawab. Ia hanya diam sembari menatap Jeno yang kian lama kian dekat.

“Jaemin,” panggil Jeno. “Aku bukan anak kecil yang harus diawasi setiap saat.”

“Tapi kamu emang anak kecil, maksudku kamu itu termasuk golongan bayi vampir.”

Jaemin tetap menjaga ekspresinya saat Jeno mengeluarkan suara tawanya.

“Bayi vampir?” tanya Jeno dengan nada yang sedikit meledek.

“Kalau yang ada dipikiranmu bayi vampir adalah anak vampir yang masih kecil, kamu salah,” jeda Jaemin. Ia sengaja melakukannya karena menunggu Jeno berada tepat dihadapannya dulu. Setelah melihat Jeno berdiri tepat dihadapannya dengan langkah terhenti, ia kembali berbicara. “Bayi vampir adalah mereka yang baru saja menjadi vampir. Kalau kamu sudah sepuluh tahun pun kamu masih akan tetap tergolong bayi vampir.”

Jeno memasukkan satu tangannya ke dalam saki celana, matanya menatap tajam Jaemin yang ada di depannya. “Sampai berapa tahun seorang vampir tergolong bayi dikaumnya?”

“Sampai sepuluh tahun. Di tahun berikutnya sampai tahun kelima puluh, mereka tergolong balita,” jelas Jaemin, ia menjaga intonasi nada bicaranya agar tidak memancing amarah Jeno karena saat ini Jeno sudah terlihat sedikit menyeramkan.

“Kenapa kamu gak membiarkan perasaan kamu keluar? Kamu sengaja menahan berbagai perasaan kamu biar aku gak tahu apa yang lagi kamu rasakan, iya, kan?”

Jaemin paham ini tidak nyambung dengan topik di awal, tapi ia tahu mengapa Jeno penasaran dengan perasaannya. Sebagai Slave, pasti dapat merasakan perasaan Tuannya, selain itu Slave dapat merasakan rasa sakit yang dirasakan Tuannya.

Jaemin menjaga perasaannya karena ia tidak ingin Jeno tahu dan memanfaatkan itu agar ia mundur dan kembali ke rumah.

“Kenapa kamu begitu peduli sama perasaan aku?” tanya Jaemin.

Jaemin menanti Jeno menjawab pertanyaannya. Namun sampai beberapa menit ia juga tidak mendapat jawaban karena Jeno hanya diam.

“Kenapa kamu mengikutiku?” Bukannya menjawab Jeno malah melontarkan pertanyaan. “Kamu takut kalau Slavemu ini akan berbuat macam-macam sehingga kamu menanggung perbuatannya, begitu, kan?”

Jeno melangkah mundur, hanya satu langkah ke belakang. “Tenang saja. Tuanku tidak akan menanggung apapun karena perbuatanku dirahasiakan.”

Tangan Jaemin terkepal di sisi tubuhnya, wajahnya tidak menunjukkan perubahan apapun. Tiba-tiba tubuh Jaemin terjatuh ke aspal dengan rasa sakit pada pipi sebelah kanannya. Rasa sakit itu hanya sementara, setelahnya menghilang. Jaemin mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

Jeno baru saja meninjunya di pipi kanan. Gerakan Jeno begitu cepat dan tidak terduga.

Jaemin yang tubuhnya menghadap aspal, membalikkan badan dan melihat Jeno mengusap sudut bibir kanannya yang tidak kenapa-kenapa.

“Melukai Tuan sendiri adalah tindakan bodoh, Jeno,” ujar Haechan yang tiba-tiba sudah berada di samping Jeno. “Selain merasakan perasaan Tuannya, Slave juga dapat merasakan rasa sakit yang dirasakan Tuannya.”

Haechan bergerak maju hingga berada di depan Jaemin. Ia mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut Jaemin.

“Terima kasih,” ucap Jaemin setelah berhasil berdiri.

“Sama-sama.”

Haechan menggeser tubuhnya ke samping. “Jadi, Jaemin, kapan kamu akan mengatakannya?”

“Mengatakan apa?” Bukan Jaemin yang bertanya melainkan Jeno.

Haechan memandang Jaemin dan Jeno secara bergantian. Ia berdecih dan memutar bola matanya. “Jaemin menyukaimu, Jeno.”

Haechan yang mendapat tatapan tajam dari Jaemin kembali berbicara, seolah Jaemin bukanlah sesuatu yang membuatnya harus tutup mulut. “Tuanmu ini, Jeno, dia gengsi.”

Jaemin melebarkan matanya saat Haechan kembali menghilang dari pandangan, meninggalkan dirinya berdua dengan Jeno. Hanya berdua.

“A-aku harus kembali.” Jaemin merutuki diri sendiri karena ia tergagap.

“Aku juga harus kembali.”

Jaemin memandang Jeno seolah tak percaya dengan apa yang diucapkannya. Belum sempat Jaemin bertanya, Jeno sudah berada di sebelahnya, mengambil tangannya, menariknya pelan, membawanya pergi dari tempat itu.