Pengutaraan

Tidak pernah terbayang oleh Tirta jika Jody akan memasuki rumahnya dan menatapnya dengan tatapan nelangsa.

Suasana ceria yang sempat terjadi akibat siaran televisi yang tengah berputar kini berubah seratus delapan puluh derajat.

Mengatakan dalam hati untuk diri sendiri agar tidak terlihat sedih saat bersitatap dengan sosok yang masih menatap nelangsa di depan sana.

Tirta ingin terlihat kuat.

“Hai, Jo.” Dua kata dari bibir Tirta menjadi pembuka.

Dengan susah payah sampai harus menelan ludah, Jody balas menyapa. “Hai, Ta.” Terkejut bukan main, itulah kondisi Tirta saat melihat Jody jatuh berlutut di hadapannya, air yang dihasilkan dari mata Jody terlihat mulai jatuh sedikit demi sedikit.

“Jody, jangan nangis...”

Tirta ingin menghampiri sosok itu, memberikan sebuah dekapan dan usapan menenangkan. Tetapi ia tidak bisa. Ia sudah berjanji untuk harus terlihat kuat.

“Gue minta maaf, Ta,” ucap Jody dengan lirih namun telinga Tirta masih dapat menangkapnya.

“Gue pernah bilang kalau gue udah maafin lo, kan?”

Kepala Jody tertunduk, kedua matanya yang sempat memancarkan kesedihan—bahkan mengeluarkan bulir-bulir air mata—menatap lantai sesaat, lalu terpejam. “Gue minta maaf karena menjadi orang bodoh.”

Tirta tidak mengerti maksud ucapan Jody. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata dengan sengaja, walaupun dalam dirinya sangat ingin bertanya.

“Gue bodoh karena gue gak sadar akan perasaan gue sendiri.” Satu isakan lolos dari bibir tebal Jody, menjadi penutup kalimatnya.

“Gue... sadarnya telat, Ta.” Kepala Jody terangkat dan netranya menatap lurus Tirta yang masih diam di tempat.

Jody mengubah posisinya menjadi berdiri, seperti sebelumnya. “Setelah kepergian lo yang tanpa kabar, gue baru sadar kalau gue kehilangan sosok yang berharga. Sosok yang ternyata gue cintai tapi gak gue sadari.”

Ritme jantung Tirta berubah, organ vital yang tadinya berdetak beraturan kini bertalu-talu. Namun Tirta masih tetap memasang raut yang sama seperti sebelumnya.

“Gue suka—gak, bahkan gue udah sampai cinta sama lo, Ta. Sampai saat ini.” Jody mengutarakannya tanpa gemetar sedikit pun.

“Jody,” panggil Tirta. “Makasih karena udah ngebalas perasaan gue... yang dulu.” Tirta sedikit tak yakin dengan dua kata diakhir kalimatnya.

Tirta mulai bangun dari duduknya dengan perlahan, berjalan mendekati Jody dengan netra masing-masing yang masih betah saling menatap.

“Makasih banyak, ya, Jody,” ujar Tirta, satu tangannya memegang satu bahu Jody, memberikan tepukan pelan beberapa kali. Senyuman tak luput ia berikan.

“Ta...”

“Iya?”

Jody menatap mata bulat yang indah itu, salah satu bagian tubuh Tirta yang menjadi kesukaannya. “Gue boleh minta satu hal?”

“Apa yang mau lo minta, Jo?”

“Gue paham kalau situasi sekarang jadi canggung. Gue confess ke lo yang jelas-jelas udah telat, bahkan hati lo udah punya tempat lain untuk berlabuh.”

Hati yang tersimpan rapih dibalik tulang-tulang rusuk terasa seperti diremas pelan setelah mendengar perkataan Jody. Sebisa mungkin Tirta menjaga ekspresinya, ekspresi yang tidak dapat dibaca.

“Gue mohon jangan menghindar dari gue lagi, ya?”

Kepala Tirta terangguk, memberikan sebuah keyakinan bagi Jody bahwa ia tidak akan menghindar.