Bertemu Langsung

Jody menjulurkan kedua kaki panjangnya, menggerakkan ke atas dan ke bawah, bibirnya yang dikerucutkan tak berhenti mengeluarkan suara yang lebih terdengar seperti melodi. Buku tulis dengan sampul putih dari kalender tidak pernah terlepas dari tangan kanannya. Matanya tak henti menatap orang-orang yang berlalu-lalang.

Suara yang Jody hasilkan dari mulutnya telah hilang, kedua kakinya yang terjulur telah ia tekuk saat sosok Tirta dengan almamater biru gelap, celana bahan berwarna cokelat gelap dan kemeja flanel yang tertutup almamater terlihat di ujung koridor. Sebuah kantung plastik bening terlihat di tangan kanannya.

Jody mengambil ponsel pintarnya yang berada di atas kursi sebelah kirinya, membuka kunci ponsel dan pura-pura memainkan ponsel itu. Jari-jari kirinya bergerak lincah di atas layar, semakin membuat yakin kalau Jody tidak sedang berpura-pura.

“Jo.”

Jody memejamkan kedua matanya. Suara itu, suara yang ia rindukan, memanggil namanya. Sebelumnya ia memang berpapasan dengan Tirta, tidak ada pertukaran kata yang terjadi. Lalu ia memperhatikan Tirta dari kejauhan dan sempat mendengar suara tertawa Tirta.

“Iya, Ta.” Jody telah membuka kedua matanya dan menatap Tirta yang masih berdiri di sebelah kirinya.

Sebuah kurva melengkung terbentuk di wajah Tirta saat matanya beradu dengan mata Jody. Lengkungan kurva itu tak bertahan lama, ia merogoh kantung plastik bening yang ada di tangannya dan mengeluarkan sebuah botol Nu Green Tea rasa Jasmine. Ia menyodorkan botol itu pada Jody. “Ini minuman gak sehat kesukaan lo.”

Jody mengeluarkan tawa pelannya, tangan kanannya yang sudah tidak memegang buku tulis bersampul putih terjulur untuk mengambil botol minuman. “Makasih, Tirta.”

“Gue boleh duduk di sebelah lo gak?”

Ada kilatan sesaat di mata Jody. Ia menggeser tubuhnya, membiarkan tempat kosong itu Tirta tempati.

“Makasih, Jo.” Tirta mengambil satu botol yang berada di dalam kantung plastik bening, ia memutar tutup botolnya dan meminum isi botol itu.

Jody memperhatikan Tirta yang sedang meminum air mineral. “Udah lama gak lihat lo secara langsung gini, Ta.”

Tirta menghentikan kegiatan meminum airnya setelah dirasa cukup. Ia menutup kembali botol bening itu dan menaruh di tempat kosong yang ada di kursi panjang.

“Gue berubah gak menurut lo?” tanya Tirta dengan wajah yang mengarah pada Jody.

“Iya. Tapi jadi lebih manis dan ganteng.”

“Jadi, gue manis apa ganteng?”

“Lo manis daridulu, Ta.”

Percakapan terhenti disitu. Tirta tidak mengeluarkan sepatah katapun, begitu pula dengan Jody. Ia memikirkan ucapannya di dalam hati, sedikit mengutuk diri sendiri karena berucap demikian.

“Lo ganteng daridulu. Dan sekarang makin ganteng.”

Jody sedikit terkesiap mendengar penuturan Tirta. Lelaki itu terlihat tidak ada penyesalan setelah mengatakan demikian, seolah memang ia ingin mengatakannya pada Jody.

Dering ponsel Tirta membuat keduanya tersentak. Pemilik ponsel segera merogoh saku kanan almamaternya dan mengeluarkan ponsel itu. Ibu jarinya terlihat bergerak dari kiri ke kanan di atas layar, dering ponsel berhenti. Ia membawa ponsel itu mendekat ke telinga kanannya.

“Halo.”

Jody kembali memusatkan perhatiannya pada ponselnya. Ia tidak ingin mencuri dengar pembicaraan Tirta dan seseorang di seberang sana, walaupun suara Tirta terdengar jelas di telinganya.

“Jo, sorry gak bisa lama-lama, nih. Gue ada panggilan suruh kumpul panitia. Gapapa kalau gue tinggal?”

Jody menatap Tirta yang juga tengah menatapnya. “Gapapa. Lagian gue emang sendirian daritadi di sini.”

“Teman-teman lo lagi pada sibuk nyari tanda tangan, ya?”

Jody mengangguk.

Tirta bangkit dari kursi panjang, tangan kanannya terjulur untuk menepuk pelan bahu kiri Jody. “Sampai ketemu lagi.”