The Ending
cw // violence
Gerakan menutup mulut dengan telapak tangan langsung Jeno praktikan usai melihat kejadian yang kurang mengenakan. Di depannya, ada Jaemin dan kekasih lelaki itu tengah terlibat perdebatan dan berakhir sebuah tangan mendarat di satu pipi Jaemin. Pendaratan itu menghasilkan bunyi yang kencang.
Ia baru saja tiba di condominium Jaemin dan disuguhkan dengan pemandangan itu. Tentu saja ia terkejut bukan main.
“Kamu kalau memang homo bilang dari awal.” Sang wanita bersuara. Tersirat kekecewaan dalam nada bicaranya.
Jeno tak berani mendekat. Ia tetap berada di jarak yang sekiranya cukup untuk mendengarkan percakapan antara dua insan yang ada di depan sana.
Dapat dilihat dengan matanya kalau sang wanita mengeluarkan air mata. Wanita itu mengusap kasar air matanya dengan cepat sebelum jatuh.
“Aku gak masalah kalau kamu homo. Yang aku permasalahkan itu selingkuhnya.” Sang wanita kembali berbicara. “Diselingkuhin itu sakit, Kak.”
Rasa tak enak hati mulai muncul ke permukaan melihat betapa sedihnya si wanita itu. Ia benar-benar terlihat kecewa. Sementara Jaemin berusaha mempertahankan air mukanya. Ia tak ingin menampilkan air matanya di hadapan sang kekasih.
Si wanita berusaha menetralkan deru napasnya. Satu tangannya terjulur, memegang satu bahu Jaemin. Ia menatap Jaemin dengan senyuman. “Aku maafin kamu, Kak. Bahagia sama sahabat kamu, ya.”
Jaemin menarik wanita itu ke dalam rengkuhnya yang erat. Karena kepala Jaemin tak terhalang apapun, air mata yang mulai turun terlihat oleh Jeno. Betapa inginnya ia berlari ke arah sana untuk memberikan sebuah pelukan menenangkan ke sang sahabat. Namun, otaknya tidak memproses pergerakan pada kakinya.
“Urusan dia biar aku yang urus,” ucap si wanita usai berpelukan.
Sebuah anggukan Jaemin berikan. “Baik kalau begitu. Terima kasih banyak.”
Senyuman yang tercetak di wajah Jaemin seharusnya memberikan dampak bahagia bagi siapapun yang melihat, terkecuali bagi Jeno. Ia justru merasa bersalah. Karenanya hubungan kedua orang yang ada di depannya menjadi seperti ini. Karenanya karir ia dan Jaemin nyaris terancam. Kalau saja Jeno tetap membiarkan pikirannya jernih, mungkin hubungan kedua orang yang ada di depan itu akan tetap baik-baik saja.
Dapat terdengar dengan jelas kalau keduanya telah resmi mengakhiri hubungan mereka. Satu pelukan menjadi penanda bahwa setelah itu mereka bukanlah milik masing-masing. Mereka akan melangkah sendiri-sendiri ke arah berbeda.
Sepeninggal wanita itu, Jaemin langsung berlari ke arah Jeno. Tubuh Jeno sedikit terpental ke belakang saat Jaemin menubrukkan dirinya ke Jeno. Saat itu juga Jaemin memeluk Jeno dengan wajahnya yang ditenggelamkan di ceruk leher Jeno dan membiarkan tangisnya pecah.
Satu tangan Jeno terangkat, memberikan usapan-usapan lembut pada si manis. Tentu saja ia membalas pelukan si manis yang cukup erat.
“Maaf,” lirih Jeno.
Gelengan yang berasal dari kepala Jaemin berhasil membuat sensasi geli di ceruk leher Jeno. Namun, ia berusaha untuk tak membuat gerakan yang nantinya malah membuat Jaemin merasa tak nyaman. Jadi, ia memilih diam.
Sesi menangis Jaemin belum berakhir padahal waktu telah berjalan sepuluh menit. Takut kalau-kalau ada yang melihat dan nantinya akan terjadi salah paham, Jeno melepaskan pelukannya yang langsung mendapat respon dari sang sahabat berupa tatapan bertanya.
“Na, kita ke dalam aja, yuk.” Jeno mengajak, kedua maniknya menatap lurus manik Jaemin yang basah.
Jaemin mengangguk tanda setuju dengan ajakan Jeno. Dengan perlahan ia melepaskan peluknya, memberikan jarak antara dirinya dengan sang sahabat. Ia memutar tubuhnya dan mulai melangkah ke arah pintu condominiumnya.
Tentu saja Jeno tak diam, ia mengekori sang sahabat.
Kini keduanya telah berada di ruang untuk menonton televisi dan bersantai yang ada di dalam condominium milik Jaemin. Keduanya duduk di sofa yang sama, tetapi tak dekat. Mereka seperti sengaja memberikan jarak.
Dengan gerakan pelan, tubuh yang semula menghadap ke depan itu kini menghadap samping, menghadap sahabatnya yang terlihat masih menundukkan kepala dengan bahu yang sesekali terlihat bergetar. Mulutnya terbuka dengan pelan, berniat untuk memanggil nama sang sahabat. Sayangnya ia harus kembali menutup mulutnya karena suara bel yang menggema di dalam condominium Jaemin terdengar.
Bola mata itu mengikuti gerakan Jaemin, mulai dari Jaemin mengelap air matanya, bangkit dari sofa, dan berjalan ke arah pintu. Jeno terkejut melihat siapa tamu yang berkunjung ke condominium Jaemin. Tak pernah mengira kalau seseorang yang membunyikan bel adalah ayah dari sosok sahabatnya.
“Untuk apa si berengsek ini ada di sini?!” tanya Tuan Na dengan nada tinggi.
Jeno tak merasa begitu terkejut dengan perilaku ayah dari sahabatnya, walaupun ini adalah pertemuan perdana antara ia dan lelaki paruh baya itu. Sebelumnya, Jaemin pernah menceritakan sosok ayahnya pada Jeno. Kesimpulan yang dapat Jeno ambil dari cerita sahabatnya ialah bahwa lelaki yang kini berdiri di depannya, menatapnya dengan kilatan amarah, bukanlah orang sembarangan dan ia sangat tak menyukai Jeno.
Tubuh Jeno secara spontan berdiri dan membungkuk. Baru saja ia hendak menegakkan tubuhnya kembali, sesuatu menyapa wajahnya dengan keras. Kepalanya langsung terasa pening. Bertepatan dengan dirinya yang jatuh terduduk dengan perlahan, kedua tangannya langsung bergerak memegangi bagian wajahnya yang terasa sakit.
“Jeno!” Jaemin memekik.
Jeno tak dapat melihat Jaemin yang memekikkan namanya. Matanya masih terpejam karena pening dan rasa sakit di wajahnya, tepatnya di antara kening dan hidung bangirnya.
“Argh. Lepas, Ayah. Sakit.”
Suara memohon Jaemin membuat Jeno penasaran akan apa yang terjadi. Sebisa mungkin ia mencoba membuka kelopak matanya.
“Gak akan Ayah lepas kalau kamu menghampiri dia.”
Pandangan mata Jeno sedikit buram, tetapi ia tahu kalau Jaemin sedang kesakitan akibat tangannya sedang dicengkram kuat oleh Tuan Na.
“Jeno gak salah apa-apa, Yah.”
Tuan Na mengeluarkan suara tawa yang mengejek. “Kamu mau membodohi Ayahmu sendiri, Na Jaemin? Ayah sudah lihat video kalian di pantai.”
Seakan berlari berkilo-kilo meter, jantung Jeno berdetak sangat cepat dari biasanya. Ia tak menyangka video itu telah sampai ke Tuan Na. Rasa panik menyerang saat ia mulai berpikir kalau orang tuanya juga telah melihat video itu.
“Kamu harus tahu kalau Ayah kecewa denganmu. Ayah membantu Ibumu membesarkanmu agar menjadi orang yang benar. Sekarang apa yang Ayah dapatkan dari hasil kerja keras Ayah darimu, Na Jaemin?”
Kepala tegak itu dengan perlahan tertunduk. Perasaan bersalah mulai menggerogoti Jaemin setelah mendengar ucapan yang dilontarkan sang ayah. Walaupun ia tak begitu menyukai ayahnya, tetapi sang ayah telah berjasa dalam hidupnya. Kalau bukan karena ayahnya, ia tak mungkin dapat menikmati keindahan semesta sampai usia sekarang.
“Ayah telah bertemu dengan CEO agensimu dan manajermu. Mulai besok kamu sudah berhenti menjadi artis.”
Kepala itu kembali tegak dalam waktu super singkat. Mata rusa itu menatap sang ayah terkejut. “Kenapa, Yah?”
“Kamu tahu kalau Ayah memang tak pernah suka kamu berkecimpung di dunia hiburan seperti Ibumu. Ayah lebih suka kamu mengikuti jejak Ayah, menjadi Duta Besar negara ini di Canada.”
“Itu masih belum menjelaskan alasan Ayah meminta Jaemin berhenti jadi artis.”
Tuan Na mencoba mengontrol emosinya terlebih dulu sebelum berbicara.
“Tentu saja alasan kuat adalah dia.” Tuan Na menunjuk Jeno yang masih terduduk memegangi bagian bagian wajahnya. “Semenjak Ayah tahu kamu berteman dengan dia, Ayah sudah merasa ada yang tak beres dalam waktu mendatang. Dan lihat, itu kejadian, kan.”
Jaemin tak bisa berkata-kata untuk membalas ucapan ayahnya. Ia melihat Jeno dari ekor matanya. Rasa iba akan lelaki yang ia cintai itu semakin meningkat dalam dirinya.
“Besok Ayah kembali ke Canada dan kau ikut.”
Bukan hanya Jaemin yang terkejut, Jeno pun begitu.
“Tak ada penolakan, Jaemin. Itu sebuah keharusan.”
Rasa sakit yang masih mendera Jeno tahan demi berbicara dengan Tuan Na perihal menanyakan jadwal keberangkatan esok hari.
“Maaf, Paman. Kalau boleh tahu besok jadwal kebarangkatannya pukul berapa, ya?”
Tuan Na memberikan tatapan bencinya saat melihat Jeno. “Kamu tak perlu tahu. Dan jangan panggil saya dengan sebutan Paman karena saya bukan Pamanmu.”
“Ayah, dia cuma mau tahu,” timpal Jaemin cepat.
Jaemin langsung menutup rapat mulutnya saat mendapat tatapan mematikan yang dilayangkan oleh ayahnya.
Tuan Na kembali memusatkan atensinya pada Jeno. Tentu saja tatapan benci masih melekat erat. “Lebih baik kamu pergi sekarang juga dari sini, Lee Jeno, karena saya sudah semakin muak melihatmu.”
Merasa cengkraman ayahnya di tangannya mengendur, Jaemin langsung menghentakkan tangannya dan berhasil terlepas. Memanfaatkan kesempatan singkat, ia berlari ke arah Jeno. Dengan satu tarikan Jeno telah berada di dalam rengkuhnya yang erat.
Tuan Na murka bukan main melihat anak satu-satunya memeluk erat orang yang tak ia sukai di hadapannya. Kemurkaannya semakin bertambah ketika meilhat anaknya mencium kening orang yang tak ia sukai itu.
Jeno manatap lembut Jaemin usai si manis mencium keningnya dalam waktu yang terbilang tak sebentar.
“Goodbye, Nana.” Suara Jeno sarat akan kesedihan.
Kepala Jaemin menggeleng cepat berkali-kali. “Bukan goodbye, tapi see you again.”
Senyum lembut tercetak di wajah Jeno. “Baiklah. See you again, Na Jaemin. Jaga diri selama di sana. Jangan nangis terus, ya. Kamu tambah jelek kalau nangis, seperti sekarang.”
Bukannya berhenti air mata Jaemin semakin deras mengalir. Belum sempat ia mengucapkan kata perpisahan, seseorang yang tak lain adalah ayahnya menarik paksa dirinya hingga menjauh dari hadapan Jeno. Tuan Na dan Jaemin sudah tak terlihat oleh pandangan karena mereka berada di dalam kamar tidur Jaemin dengan pintu tertutup.
Sadar akan dirinya yang sudah diusir oleh Tuan Na sejak beberapa menit yang lalu, Jeno bangun dari posisinya. Ia melangkah dengan pasti hingga dirinya telah tiba di dekat pintu masuk yang tertutup. Satu tangannya terjulur membuka pintu. Saat dirinya telah berada di bagian luar condominium milik Jaemin dengan tangannya yang masih memegang pintu agar terbuka, air matanya menetes. Tubuhnya berbalik ke arah pintu. Ia memandangi bagian dalam condominium Jaemin dengan pandangan buram akibat terhalang air mata.
“Gue harap kita bisa ketemu lagi di lain waktu, Na.” Jeno mengusap air matanya dengan satu tangannya yang menganggur. “I love you, Na Jaemin.”
Perlahan pintu itu bergerak menutup setelah Jeno melepaskan pegangannya pada gagang pintu. Ia pergi menjauh dengan langkah yang berat. Selama berjalan, kilas balik kenangan akan Jaemin terputar di kepalanya. Pertemuan pertama mereka di pantai, senyuman manis Jaemin, raut kesal Jaemin ketika Jeno mengusilinya, hingga pertemuan terakhir mereka berdua sebelum berpisah. Semua itu semakin membuat rasa sedih dalam dirinya tak terbendung. Kali ini ia membiarkan air matanya keluar untuk waktu yang lama.
Bertepatan dengan pintu yang tertutup rapat, Jeno telah berbelok dan tak lagi terlihat oleh pandangan mata Jaemin yang menatap kepergian sang sahabat dari bagian luar condominiumnya dalam diam.
END