GF—15
Jaemin duduk di atas tanah yang tidak begitu kering namun tidak basah. Kakinya ditekuk dan kedua tangannya memeluk lutut. Matanya bergulir kesana kemari memperhatikan bagian dalam paviliun yang jauh dari kata menarik.
Di tempat yang sama Jeno sedang duduk di dalam peti mati beledunya. Kuburannya yang sempat terbuka sudah ditutup kembali. Matanya menatap Jaemin yang berada beberapa meter darinya.
“Kamu gak mau bicara gitu?” tanya Jeno yang mulai bosan dengan keheningan yang terjadi diantara mereka.
Jaemin menoleh ke arah Jeno. “Aku emang jarang bicara.”
“Duduk di sini lebih enak daripada di atas tanah, lho.”
Satu-satunya pintu yang ada di sana tiba-tiba terbuka. Sinar matahari yang tidak terlalu menyengat terlihat menyapa bagian dalam bangunan itu. Jaehyun terlihat berdiri di ambang pintu dengan satu kantung belanja berwarna hitam di tangan kanannya.
“Waktunya makan, Jeno.”
Jeno dengan cepat bergerak dari dalam peti menuju pintu. Jeno terpaksa mundur saat jarinya mengenai cahaya matahari. Sensasi terbakar itu begitu menyengat dan menyakitkan. Ringisan dari mulut Jeno terdengar setelahnya.
“Jaehyun, kamu tahu kalau dia masih baru dan bukan Daylighter. Kenapa membiarkan dia mengambil makanannya sendiri?” Jaemin yang sudah berada di sebelah Jeno mengomeli Jaehyun.
Jaemin mengambil kantung belanja dari tangan Jaehyun dan membawa Jeno ke peti matinya, menjauh dari paparan sinar matahari. Pintu itu kembali tertutup.
Jaemin mengambil tangan Jeno dan melihat jari-jarinya sedikit berubah warna kehitaman. “Ini akan sembuh sendiri tapi gak cepat.”
“Sakit.”
Jaemin sedikit memajukan jari-jari Jeno ke arahnya dan mulai meniup pelan jari-jari itu.
“Enakan?” tanya Jaemin pada Jeno yang langsung mendapat respon berupa anggukan.
“Sekarang tidur. Ini sudah waktunya,” perintah Jaemin.
“Tapi aku lapar.”
Jeno menahan satu tangan Jaemin yang sudah berdiri dan hendak pergi dari dalam peti.
“Kamu bisa minum juga.”
Jaemin menggeleng. “Aku harus menjalankan hukumanku.”
“Tapi jangan pergi dari sini.”
“Kamu mau nyiksa aku lebih parah?”
Jeno melepas pegangannya pada tangan Jaemin. “Kamu boleh kembali ke tempatmu.”
Jaemin sedikit tidak tega. Ia kembali duduk di samping Jeno. Satu tangannya terjulur untuk mengambil satu kantung darah dari dalam kantung belanja. Ia menyerahkan kantung darah itu pada Jeno.
“Gak mau,” ucap Jeno seraya menggelengkan kepalanya.
“Jen, kamu harus makan.”
“Aku mau nemenin kamu jalanin hukumanmu.”
Jaemin sedikit kesal dibuatnya. Ia membuka kantung darah itu. Rasanya ia ingin melahap habis semua darah yang ada di sana dalam sekali teguk. Ia belum makan dari semalam.
“Cepat minum.”
Jeno mengambil kantung darah itu dan kembali menutupnya. “Aku bilang aku gak mau.”
“Kenapa kamu keras kepala, sih?”
Jeno tidak menjawab. Ia memilih mengembalikan kantung darah itu ke dalam kantung belanja dan menaruhnya di samping peti.
“Kamu tidur di sini.”
Jaemin mengangkat alisnya saat Jeno bangun dan sudah berada di luar peti.
“Ini petimu, Jeno. Kamu yang harusnya tidur di sini.”
“Aku pernah hidup susah dan tidur di lantai. Jadi, ini gak masalah.”
“Lantai sama tanah beda, Lee Jeno.”
“Aku ini udah pernah merasakan mati dan dikubur kalau kamu lupa.”
“Aku juga.”
Jeno terlihat memijat ruang yang ada di antara kedua alisnya. “Oh, Tuhan—tunggu. Aku bisa mengatakan Tuhan?”
Jaemin memutar bola matanya. “Iya. Kamu pikir vampir gak bisa bilang gitu?”
Jeno menguap cukup lebar dan ia lupa untuk menutup mulutnya.
“Lihat siapa yang sudah mengantuk,” ujar Jaemin.
Jeno kembali masuk ke dalam peti matinya. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Peti mati itu tertutup dengan Jeno dan Jaemin yang berada di dalam. Posisi keduanya berbaring menyamping dengan Jeno yang memeluk Jaemin dari belakang.
“Selamat tidur.”