chywinggum

Dengan segera Jody menurunkan pandangan saat netranya dengan netra Tirta beradu pandang tak sengaja. Dalam hati Jody merapal doa agar Tirta tidak menyadari kehadirannya. Kalau memang iya, Jody berharap agar Tirta mengabaikan eksistensinya saat ini.

Read more...

Tidak pernah terbayang oleh Tirta jika Jody akan memasuki rumahnya dan menatapnya dengan tatapan nelangsa.

Suasana ceria yang sempat terjadi akibat siaran televisi yang tengah berputar kini berubah seratus delapan puluh derajat.

Mengatakan dalam hati untuk diri sendiri agar tidak terlihat sedih saat bersitatap dengan sosok yang masih menatap nelangsa di depan sana.

Tirta ingin terlihat kuat.

“Hai, Jo.” Dua kata dari bibir Tirta menjadi pembuka.

Dengan susah payah sampai harus menelan ludah, Jody balas menyapa. “Hai, Ta.” Terkejut bukan main, itulah kondisi Tirta saat melihat Jody jatuh berlutut di hadapannya, air yang dihasilkan dari mata Jody terlihat mulai jatuh sedikit demi sedikit.

“Jody, jangan nangis...”

Tirta ingin menghampiri sosok itu, memberikan sebuah dekapan dan usapan menenangkan. Tetapi ia tidak bisa. Ia sudah berjanji untuk harus terlihat kuat.

“Gue minta maaf, Ta,” ucap Jody dengan lirih namun telinga Tirta masih dapat menangkapnya.

“Gue pernah bilang kalau gue udah maafin lo, kan?”

Kepala Jody tertunduk, kedua matanya yang sempat memancarkan kesedihan—bahkan mengeluarkan bulir-bulir air mata—menatap lantai sesaat, lalu terpejam. “Gue minta maaf karena menjadi orang bodoh.”

Tirta tidak mengerti maksud ucapan Jody. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata dengan sengaja, walaupun dalam dirinya sangat ingin bertanya.

“Gue bodoh karena gue gak sadar akan perasaan gue sendiri.” Satu isakan lolos dari bibir tebal Jody, menjadi penutup kalimatnya.

“Gue... sadarnya telat, Ta.” Kepala Jody terangkat dan netranya menatap lurus Tirta yang masih diam di tempat.

Jody mengubah posisinya menjadi berdiri, seperti sebelumnya. “Setelah kepergian lo yang tanpa kabar, gue baru sadar kalau gue kehilangan sosok yang berharga. Sosok yang ternyata gue cintai tapi gak gue sadari.”

Ritme jantung Tirta berubah, organ vital yang tadinya berdetak beraturan kini bertalu-talu. Namun Tirta masih tetap memasang raut yang sama seperti sebelumnya.

“Gue suka—gak, bahkan gue udah sampai cinta sama lo, Ta. Sampai saat ini.” Jody mengutarakannya tanpa gemetar sedikit pun.

“Jody,” panggil Tirta. “Makasih karena udah ngebalas perasaan gue... yang dulu.” Tirta sedikit tak yakin dengan dua kata diakhir kalimatnya.

Tirta mulai bangun dari duduknya dengan perlahan, berjalan mendekati Jody dengan netra masing-masing yang masih betah saling menatap.

“Makasih banyak, ya, Jody,” ujar Tirta, satu tangannya memegang satu bahu Jody, memberikan tepukan pelan beberapa kali. Senyuman tak luput ia berikan.

“Ta...”

“Iya?”

Jody menatap mata bulat yang indah itu, salah satu bagian tubuh Tirta yang menjadi kesukaannya. “Gue boleh minta satu hal?”

“Apa yang mau lo minta, Jo?”

“Gue paham kalau situasi sekarang jadi canggung. Gue confess ke lo yang jelas-jelas udah telat, bahkan hati lo udah punya tempat lain untuk berlabuh.”

Hati yang tersimpan rapih dibalik tulang-tulang rusuk terasa seperti diremas pelan setelah mendengar perkataan Jody. Sebisa mungkin Tirta menjaga ekspresinya, ekspresi yang tidak dapat dibaca.

“Gue mohon jangan menghindar dari gue lagi, ya?”

Kepala Tirta terangguk, memberikan sebuah keyakinan bagi Jody bahwa ia tidak akan menghindar.

” LOST “

Sore hari terasa sangat gelap bagi Jeno dan Jaemin yang tersesat di dalam hutan yang dipenuhi pepohonan karena kesalahan salah satu dari mereka. Mereka sedang mengikuti acara perkemahan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan setiap tahun. Salah satu panitia meminta bantuan pada Jeno untuk mengumpulkan kayu bakar. Jeno membantu panitia yang juga kakak tingkatnya itu. Ia mengajak Jaemin yang saat itu tengah sibuk menata makanan di dalam tenda yang ditempati Jeno dan Jaemin.

Jaemin yang terlalu malas untuk bergerak itu tidak mau membantu Jeno. Ia lebih memilih berada di dalam tenda dengan makanan kesayangannya dibandingkan menelusuri hutan yang belum pernah ia telusuri sebelumnya. Karena ia tidak tega melihat kekasihnya terus menerus memasang wajah melas, mau tak mau ia mengangkat bokongnya dan pergi meninggalkan tenda.

Dan di sinilah keduanya berada, di tengah-tengah hutan yang gelap. Cahaya hanya masuk ketika dedaunan tertiup angin.

“Kau tidak ingat jalannya? Sama sekali?” tanya Jaemin pada Jeno yang berjalan di depannya dengan lampu senter yang menyorot ke depan.

“Tidak,” jawab Jeno singkat.

Jaemin menghela napasnya. Ia belum pernah ikut acara bertahan hidup di dalam hutan, jadi ia tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan diri dari dalam hutan yang dipenuhi pepohonan.

“Ini salahku,” aku Jeno. Ia berhenti berjalan dan berbalik menghadap Jaemin. “Seharusnya aku membuat tanda di pohon atau di tanah agar kita tidak tersesat.”

“Hei, Jeno,” panggil Jaemin. Ia berjalan mendekat hingga satu tangannya dapat menyentuh pipi kanan Jeno. “Ini bukan salahmu. Ini adalah salah orang itu.”

Jeno memejamkan matanya saat kedua pipinya mendapat usapan lembut dari ibu jari Jaemin.

Jaemin menarik kembali tangannya dari pipi Jeno. Ia mengulas senyum saat Jeno membuka kedua mata. “Ayo, terus berjalan.”

Jeno mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil tangan kiri Jaemin. Ia membawa tangan yang mulai dingin itu ke dalam genggaman hangat. Ia menatap Jaemin yang juga tengah menatapnya. “Kita pasti bisa kembali.”

Keduanya kembali berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut.

Matahari sudah mengundurkan diri dari tempatnya sejak tiga puluh menit yang lalu. Langit yang cerah kini berubah gelap. Hanya ada beberapa bintang dan bulan yang menerangi malam. Suara hewan-hewan malam mulai terdengar di dalam hutan, membuat Jeno dan Jaemin yang masih mencoba mencari jalan keluar bergidik.

Jeno merasakan kalau kekasihnya tidak nyaman. Entah apa yang membuat Jaemin begitu, tapi menurut Jeno karena hutan semakin gelap dan suara-suara hewan yang seolah-olah bersahutan terdengar. Ia mengeratkan genggamannya, berharap dapat membuat rasa tak nyaman yang Jaemin alami secara perlahan hilang.

“Sayang,” panggil Jeno. “Kalau aku tidak salah ingat, malam ini bulan akan penuh.”

Jaemin menoleh ke arah Jeno dengan cepat. “Maksudmu bulan purnama?”

Jeno yang tadinya fokus menatap jalanan dengan penerangan dari senternya, melihat Jaemin yang masih melihatnya. “Iya. Bulan purnama akan terjadi malam ini. Untuk waktunya aku tidak tahu pasti.”

Jeno memperhatikan wajah Jaemin yang memperlihatkan raut ketakutan. Bola mata Jaemin bergerak kesana kemari untuk beberapa detik.

“Hei, sayang,” panggil Jeno. Ia melepaskan genggaman di tangan Jaemin. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup wajah Jaemin. Senter ia arahkan ke salah satu pepohonan. Ia menatap lembut Jaemin yang masih terlihat ketakutan. “Di sini ada aku, jangan takut. Kau tidak sendiri.”

Jaemin menurunkan pandangan. “Aku takut sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi.”

Jeno membawa tubuh kecil Jaemin ke dalam pelukannya. Satu tangannya memberikan usapan lembut di kepala Jaemin bagian belakang. Sedangkan satu tangannya lagi menepuk pelan punggung Jaemin.

“Jeno, sebaiknya kau lepas pelukanmu.”

Dahi Jeno mengerut saat mendengar permintaan Jaemin. Tidak biasanya Jaemin begini. Bahkan membalas pelukannya saja tidak.

“Kenapa?” tanya Jeno yang masih memeluk tubuh kecil Jaemin.

“Cepat lepaskan sekarang.”

Suara Jaemin terdengar memaksa di telinga Jeno. Dengan berat hati Jeno melepaskan pelukannya. Ia merasa sedih saat Jaemin langsung menjauhkan diri dari Jeno setelah terlepas dari dekapannya. Kepalanya terdongak dan melihat langit malam dari sela dedaunan yang rimbun tertiup angin. Di atas sana bulan sudah penuh.

“Sayang, lihatlah bulannya. Bulan sudah penuh.”

Jeno mengalihkan pandangannya pada Jaemin. Ia berusaha menerka-nerka apa yang sedang terjadi pada Jaemin. Kekasihnya terlihat kesakitan.

“Jaemin, kau baik-baik saja?” tanya Jeno sambil mendekat. Ia sangat mengkhawatirkan kekasih manisnya itu.

“Pergi,” suruh Jaemin pada Jeno. Tubuhnya yang tadi berdiri kini terjatuh berlutut. Kepalanya tertunduk mengarah ke tanah.

“Jaemin...”

“Jeno, aku mohon. Pergi. Lari. Sembunyi.”

“Tapi-”

“Sekarang, Jeno!”

Untuk pertama kalinya Jaemin meninggikan suaranya pada Jeno yang membuat Jeno merasa sakit di hatinya. Tapi itu tidak membuat Jeno ingin pergi meninggalkan Jaemin sendiri di tengah hutan dalam keadaan kesakitan.

“Jeno, aku bilang pergi sekarang.” Jaemin mengangkat kepalanya untuk melihat Jeno yang berdiri di depannya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. “Kumohon.”

Bukannya menuruti perkataan Jaemin, Jeno malah menyejajarkan tubuhnya dengan Jaemin. Ia menangkup wajah Jaemin dengan kedua tangannya. Dengan perlahan wajahnya maju hingga bibirnya bersentuhan dengan bibir kekasihnya.

Jeno tersentak saat tubuhnya didorong menjauh. Ia meringis saat punggungnya menyentuh tanah yang berbatu.

“Maafkan aku.” Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Jaemin.

Jeno melotot saat melihat gigi-gigi Jaemin berubah menjadi tajam ketika Jaemin berteriak menghadap ke atas. Urat-urat Jaemin mulai terlihat. Kuku-kuku jari tangan Jaemin berubah menjadi sangat runcing dan bulu putih mulai tumbuh di tangannya. Badan Jaemin mulai membesar hingga membuat pakaiannya tersobek-sobek.

Jeno ingin kabur saat itu juga namun tubuhnya serasa mati rasa. Ia tidak dapat bergerak. Yang ia lakukan adalah diam di tempat sambil melihat Jaemin berubah menjadi makhluk berbulu putih dengan moncong dan berkaki empat.

Bulu kuduk Jeno meremang saat sebuah lolongan panjang keluar dari moncong makhluk yang ada di hadapannya.

Jeno menelan air liurnya saat makhluk berkaki empat itu menatapnya dengan mata biru yang terlihat berkilau. Ia mulai bergerak mundur dengan menggunakan sikunya saat makhluk itu bergerak maju.

“Jaemin, ini aku Jeno.”

Serigala putih itu seperti tuli. Ia terus bergerak maju hingga berhasil berada di atas tubuh Jeno yang ketakutan. Geraman pelan ia keluarkan saat melihat mangsanya sudah berada di bawah kungkungannya. Air liurnya dengan perlahan turun hingga mengenai wajah Jeno.

Jeno menahan kedua kaki depan serigala putih dengan kedua tangannya saat makhluk itu hendak menyerangnya. Sekuat tenaga Jeno menahan kedua kaki depan serigala itu yang sangat kuat.

Jeno berteriak kesakitan saat cakar serigala itu berhasil mengenai leher bagian atasnya yang kemudian mengeluarkan darah. Ia menggigit bibir bawahnya sambil mengatur napas. Rasa sakit di lehernya sangat terasa.

Serigala itu melolong setelah berhasil melukai mangsanya. Lolongannya terdengar hampir di seluruh penjuru hutan. Serigala itu kembali melihat mangsanya yang terlihat sangat kesakitan dan pasrah. Ia memajukan wajahnya pada mangsanya. Gerakannya terhenti saat matanya tak sengaja melihat benda berkilau dari balik kemeja yang Jeno kenakan. Benda berkilau yang ternyata adalah kalung perak yang Jaemin belikan ketika Jeno berulang tahun.

Serigala putih itu memundurkan wajahnya. Ia tahu kalau ia tetap memaksakan memakan mangsanya yang memakai kalung perak yang merupakan kelemahannya, maka ia akan mati. Serigala itu mundur perlahan hingga tubuhnya sudah tidak mengukung Jeno. Kemudian serigala itu mengecil, bulu-bulu putihnya mulai hilang beserta gigi tajam dan cakarnya. Serigala itu berubah menjadi manusia yang tidak mengenakan pakaian apapun.

“Oh, astaga, Jeno,” ucap Jaemin ketika melihat Jeno dengan leher berdarah di depannya. Ia langsung bergerak menuju tempat Jeno berada. Di bawanya kepala Jeno di atas pahanya yang tidak terbalut apapun. Seharusnya Jaemin merasa malu karena sebelumnya ia tidak pernah telanjang di depan umum dan di depan Jeno. Tapi saat ini Jaemin mengesampingkan perasaan itu.

“Terima kasih karena tidak memakanku,” ujar Jeno dengan susah payah.

Jaemin merasa sangat bersalah. Air mata terlihat mulai berkumpul di pelupuk mata Jaemin.

“Kenapa kau menangis, sayang?” tanya Jeno yang merasa sakit di hatinya jika melihat Jaemin menangis.

“Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf.”

“Hei, tidak apa-apa. Kau lihat aku masih hidup.”

Jaemin tidak suka jika Jeno berbicara. Pasalnya ia sedang kesakitan dan darah yang keluar dari lehernya sangat banyak. Jaemin mau Jeno diam saja.

Jaemin memandang kalung perak yang ada di leher Jeno. Ia memegang kalung perak itu. Matanya menatap mata Jeno. “Lepas kalungnya, ya?”

“Kenapa?” tanya Jeno dengan suara yang lemah.

Jaemin tidak menjawab. Ia mulai memutar kalung itu hingga menemukan kaitannya. Ia melepaskan kaitan kalung itu dengan satu tangan. Kalung perak itu terlepas sepenuhnya dan langsung Jaemin buang jauh-jauh.

“Kenapa kau buang, Jaemin?”

“Kau bisa mati kalau memakai itu.”

“Apa maksudmu?”

Jaemin menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Dengan memberanikan diri ia menatap langsung mata Jeno. “Aku hanya mencakarmu dan tidak membunuhmu. Aku minta maaf karena mengubahmu, Jeno. Kau akan menjadi sepertiku. Kau akan menjadi makhluk mitos berbulu dan berkaki empat. Kau akan menjadi Manusia Serigala.”

Jaemin menengadah, ia melihat bulan yang masih penuh itu dari sela dedaunan yang tertiup angin. “Kau akan berubah malam ini selama bulan purnama masih berlangsung. Tapi tenang saja karena aku akan menemanimu.”

Tak lama Jaemin mengatakan itu, Jeno mulai merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya. Ia merasakan gigi-giginya memanjang, jari-jarinya berubah runcing, dan badannya dipenuhi bulu berwarna abu-abu.

Jaemin sedikit menjauh dari Jeno saat kekasihnya itu tengah berubah. Ia memperhatikan bagaimana tubuh Jeno berubah besar hingga membuat pakaiannya robek.

Jeno telah berubah sempurna menjadi serigala abu-abu bermata hazel yang lebih besar dari Jaemin. Ia menengadahkan kepalanya dan melolong. Setelah puas melolong ia menatap Jaemin yang masih berwujud manusia. Ia tidak menyerang Jaemin karena ia tahu Jaemin sama sepertinya.

Jaemin membiarkan tubuhnya berubah kembali menjadi serigala putih. Ia bergerak maju dengan perlahan dengan mata biru yang tidak pernah lepas menatap mata hazel yang ada di depannya. Setelah dekat ia menyentuhkan moncongnya pada moncong Jeno, lalu ia mempersatukan keningnya dan Jeno.

Kemudian Jeno mengajak Jaemin berlari di tengah hutan di bawah bulan purnama. Kedua serigala itu berlari dengan cepat dan menghilang dibalik pepohonan.

  • Finish -

GF—21

Jaemin langsung membuka pintu kamarnya saat sebuah ketukan terdengar. Ia menarik masuk Jeno dan menutup pintu kamarnya.

“Mark dan Haechan, mereka masih di sini. Apa tidak masalah bagimu?” tanya Jeno, ia menatap lembut Jaemin yang ada di hadapannya.

Jaemin mengangguk. “Tidak masalah. Lagipula mereka sudah pergi.”

Jaemin menatap Jeno dengan intens. Satu tangannya terangkat untuk menangkup pipi kanan Jeno. Ia menggerakkan ibu jarinya, mengusap pelan pipi kanan Jeno yang pucat dan tirus.

“I love you,” kata Jaemin, ia memajukkan wajahnya dengan perlahan dan menempelkan bibirnya pada bibir Jeno.

Jaemin mulai memagut bibir Jeno dengan perlahan. Sepasang tangan memegang pinggangnya dan membawanya menempel pada tubuh yang ada di depannya.

Jeno mulai tidak sabaran mencium Jaemin. Ia semakin mempercepat tempo ciumannya, kepalanya sering dimirngkan ke kiri dan ke kanan.

Jaemin sedikit tersentak saat punggungnya bertemu dengan kasur empuknya. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher Jeno yang mengukungnya tubuhnya.

Jeno menarik diri, ia memberi wajahnya jarak yang tidak terlalu jauh dari wajah Jaemin. Ia memandang kagum wajah manis Jaemin yang pucat dan dingin. Satu tangannya berpindah dari sisi kepala Jaemin ke rambut Jaemin, membelai lembut rambut halus itu.

“I love you, too.”

Jeno kembali mencium Jaemin dengan begitu napsu. Tangannya tidak bisa diam, satu tangannya menyelinap masuk ke dalam baju Jaemin, menyapu lembut kulit Jaemin. Dari balik baju, tangan Jeno dengan usil menjahili kedua tonjolan yang mulai mencuat.

Jaemin melenguh dalam ciuman. Ia mulai menarik baju Jeno ke atas, memberi kode agar Jeno melepas bajunya dan memperlihatkan tubuhnya yang atletis.

Jeno yang paham menghentikan ciumannya untuk membuka bajunya. Ia membantu Jaemin membuka baju setelah bajunya telah tanggal.

Keduanya sudah tidak terbalut pakaian apapun, keduanya telah telanjang bulat. Hawa dingin di kamar Jaemin berubah menjadi panas karena ulah kedua vampir yang tengah melakukan kegiatan panas.

Jaemin mencengkeram kuat bahu Jeno saat jari ketiga Jeno menyelinap masuk ke dalam liangnya. Ia tidak pernah mengalihkan tatapannya dari Jeno saat ia memberikan ekspresi yang dapat membuat Jeno semakin bergairah.

Dirasa cukup, Jeno mengeluarkan ketiga jarinya dari liang hangat Jaemin. Ia melebarkan kedua kaki Jaemin dan mulai mempersiapkan miliknya agar dapat dengan mudah masuk ke dalam liang hangat itu.

Jaemin memperhatikan bagaimana kebanggaan Jeno mulai menyentuh liangnya, menggoda liangnya sebentar dan dengan perlahan hilang seperti ditelan bokongnya.

Jeno memberikan waktu bagi liang Jaemin untuk terbiasa dengan miliknya meskipun sebelumnya mereka pernah bersenggama.

“Move,” kata Jaemin yang terdengar seperti perintah.

Jeno sebagai Slave yang baik menuruti perintah Tuannya. Ia mulai menggerakkan miliknya di dalam Jaemin dengan perlahan. Pergerakannya menimbulkan desahan pelan dari bibir Jaemin.

“Master—” Perkataan Jeno terhenti karena telunjuk Jaemin berada di depan bibirnya.

“Aku lebih suka panggilanmu padaku yang lain.”

“Cupcake?”

Jaemin mengangguk, matanya mulai tak fokus menatap Jeno karena sesuatu yang panjang dan berurat yang tengah bergerak di dalam dirinya berhasil menimbulkan sensasi nikmat.

Melihat perubahan yang terjadi di wajah Jaemin, Jeno mendekatkan wajahnya ke telinga Jaemin dan mengatakan sesuatu dengan suara yang rendah dan serak. “Katakan padaku, kamu ingin aku bergerak lebih cepat atau tetap seperti ini?”

Jaemin baru saja ingin mengatakan sesuatu namun terhenti karena Jeno tiba-tiba menyentak miliknya sehingga membuat Jaemin memekik pelan.

“Jawab, Cupcake,” ujar Jeno, wajahnya sudah tidak berada di dekat telinga Jaemin.

“Ak—ah!”

Lagi, Jaemin memekik pelan dan tidak dapat menjawab pertanyaan Jeno yang menurutnya retoris itu saat Jeno menyentakkan kembali miliknya.

“Kamu mau bilang apa?”

Jaemin yang mulai merasa kesal mencoba mengubah posisi mereka. Sayangnya tidak berhasil. Jeno terlalu kuat.

“Jangan coba-coba mengubah posisi,” kata Jeno, suaranya begitu dalam sehingga memberikan sensasi merinding.

Jaemin mengeluarkan desahan dan sesekali pekikan tertahan karena Jeno mulai bergerak liar di dalam. Ia tidak bisa santai dan merasakan nikmatnya bercinta dengan kekasihnya karena sepertinya Jeno tidak berniat bermain lembut.

Jaemin sudah seperti vampir yang kacau di bawah kungkungan Jeno, rambutnya berantakan, mulutnya sedikit terbuka, matanya sayu. Untung saja vampir tidak mengeluarkan keringat, kalau iya sudah dipastikan tubuh Jaemin basah oleh keringat.

Jeno mengangkat tubuh Jaemin dari kasur tanpa memutus sambungan mereka. Ia membawa Jaemin dan dirinya sendiri ke dalam kamar mandi. Ia menurunkan tubuh Jaemin dan memutarnya hingga tubuh Jaemin membelakanginya, dan lagi tanpa memutus sambungan mereka.

Jaemin melenguh saat tubuhnya dibalik tanpa seizinnya, milik Jeno terasa ikut terputar di dalamnya dan itu memberikan sensasi nikmat bagi Jaemin.

Jaemin menumpukkan kedua tangannya pada wastafel kamar mandinya, ia melihat ke depan dimana ada cermin yang memantulkam bayangan dirinya dan Jeno yang berada di belakangnya.

Jeno mendekatkan wajahnya pada telinga Jaemin. “Kamu harus lihat betapa kacaunya dirimu saat aku mengacaukanmu di dalam.”

Jeno mengecupi punggung pucat Jaemin yang mulus tanpa cela. Ia mulai menggerakkan kembali pinggulnya dalam tempo cepat. Ia menatap pantulan dirinya dan Jaemin di cermin. Ia sangat puas menatap Jaemin yang terihat kacau di cermin.

Jaemin dengan susah payah menjaga tubuhnya agar tidak terjatuh. Ia mencengkeram kuat pinggir wastafel. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya karena sensasi yang ia dapatkan. Ia tidak terlalu fokus melihat bayangan dirinya yang sangat kacau, ia lebih fokus pada sensasi yang diberikan Jeno.

Geraman beberapa kali lolos dari bibir Jeno karena miliknya serasa di remas di dalam liang Jaemin. Ia melayangkan tamparan pada salah satu pipi sintal Jaemin yang membuat sang empunya memekik tertahan. Bekas tamparan itu tidak meninggalkan bekas merah karena mereka bukan makhluk hidup.

Sepuluh menit berlalu, keduanya sama-sama merasakan bahwa mereka akan segera mengeluarkan cairan mereka. Jeno yang memang sedari awal tidak bergerak pelan kini menambah kecepatan gerak pinggulnya dan membuat pasangannya semakin kehilangan fokus.

Mereka keluar di waktu yang sama dan sama-sama memanggil nama satu sama lain. Jeno langsung menggendong bridal Jaemin keluar dari kamar mandi, membuat sambungan mereka terputus. Ia meletakkan tubuh Jaemin dengan hati-hati di atas kasur.

“Saatnya tidur,” ujar Jeno setelah merebahkan tubuhnya di sebelah Jaemin dan menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka.

Jaemin merapatkan tubuhnya pada Jeno, ia menempelkan kepalanya di dada Jeno. Sementara Jeno menyelipkan satu tangannya di bawah kepala Jaemin. Mereka sama-sama memejamkan mata dan membiarkan mimpi membawa mereka.

GF—20

( cw // blood , gore )

Jaemin menoleh saat pintu paviliun terbuka dan nampaklah ketiga vampir dari baliknya, Jeno, Mark, dan Haechan yang membawa benda di masing-masing tangan mereka. Jeno membawa tiga buah kursi, Mark membawa satu botol air suci, dan Haechan membawa sebilah pedang yang masih disarungkan.

Jaemin meminta Jeno untuk meletakkan kursi yang ia bawa secara berdampingan namun tidak menempel, menyisakan jarak beberapa centimeter.

“Duduklah, Serafino,” kata Jaemin setelah tiga kursi telah diletakkan Jeno.

Jaemin tidak memutus pandangan mata dengan Serafino selama pemimpin clan Romania itu menghampiri salah satu kursi dan mendudukkan diri di sana.

Jaemin memberikan kode pada Mark dan Haechan untuk segera memulai. Mark dengan hati-hati membuka tutup botol air suci itu dan membasahi bilah pedang yang dipegang Haechan. Setelah menghabiskan satu botol penuh, Mark menutup kembali botol itu dan membuangnya.

“Ini pedangnya,” kata Haechan, ia memberikan pedang yang bilahnya sudah basah oleh air suci.

Jaemin mengambil pedang itu dari tangan Haechan dengan hati-hati. Ia melihat ke arah Jeno dan meminta Jeno untuk mengikat kuat ketiga vampir itu dengan tambang yang ada di ujung ruangan.

Jaemin berjalan mendekati salah satu antek Serafino setelah Jeno mengikat ketiga vampir itu dengan erat dan simpul yang sulit untuk dilepas. Jaemin berdiri tepat di belakang vampir itu, satu tangannya yang memegang pedang diarahkan ke depan leher si vampir. Dengan perlahan Jaemin menempelkan bilah pedang itu pada kulit leher si vampir.

Si vampir merasakan rasa perih saat bilah pedang itu mengenai kulitnya. Ia menggigit bibirnya cukup kuat ketika bilah pedang tajam itu mulai menembus kulit lehernya.

Jaemin melihat ke arah pedang yang sudah berhasil menembus leher si vampir. Ia mulai menggerakkan pedang itu, bilah pedang yang tadinya hanya menembus ujung sisi leher si vampir kini sudah menembus leher si vampir. Jaemin menarik kembali pedangnya saat dirasa bahwa pedang itu sudah mengenai leher si vampir sampai bagian tengah. Darah mengucur dengan deras ketika Jaemin menarik pedangnya.

Jaemin berpindah tempat. Kini ia berada di belakang Serafino. Ia mengarahkan pedangnya pada leher Serafino dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.

Jaemin berpindah tempat lagi dan melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya.

Jaemin kini sudah berada di sebelah Jeno, menatap ketiga vampir asal Romania yang dalam kondisi sekarat itu dengan sebuah senyuman miring.

“Cupcake, apa yang kamu mau lakukan?” tanya Jeno ketika Jaemin mulai bergerak maju.

Jaemin berbalik sebentar. “Aku akan mengakhiri ini.”

Dengan kecepatan supernya Jaemin sudah berada di belakang Serafino, mengarahkan pedangnya di depan leher Serafino yang sudah terbuka separuh, menggorok leher itu sampai putus. Ia juga melakukan itu pada kedua vampir lainnya. Kepala ketiga vampir itu terjatuh dan menggelinding.

“Aku butuh api,” kata Jaemin kepada Mark, Haechan, dan Jeno.

Jeno langsung bergerak cepat keluar piviliun untuk mengambil korek api, kembali ke paviliun dengan cepat. Ia memberikan korek itu pada Jaemin.

Jaemin menerima korek tersebut dan langsung menyalakannya. Ia membakar ketiga tubuh dan kepala yang terpisah dengan wajah puas sampai ketiga vampir itu berubah menjadi abu.

GF—19

Belum sempat Jaemin membuka gerbang, dirinya sudah terhempas ke belakang hingga tubuh belakangnya menabrak bangunan air mancur. Seseorang baru saja melemparnya.

Jaemin dengan perlahan berdiri, ringisan pelan sempat lolos dari bibirnya. Matanya menyapu dan melihat kekasih dan kedua temannya juga mengalami hal yang sama dengannya.

“Cupcake, kamu gak apa-apa?”

Jaemin melemparkan senyum untuk Jeno yang berjalan menghampirinya. “Aku baik.”

Jaemin menoleh dengan cepat saat sebuah gerakan tertangkap oleh ekor matanya. Dengan kecepatan supernya ia mendekati gerbang, tempat dimana gerakan cepat itu terjadi.

“Wah. Wah. Wah. Lihat siapa ini,” kata sosok vampir yang memakai pakaian zaman victoria. “Na Jaemin, Slave kesayangan Jaehyun.”

Taring Jaemin muncul dengan segera saat melihat Michael Serafino, mantan pemimpin clannya dulu, yang sekaligus pembunuh Tuannya.

“Kamu jauh-jauh dari Romania hanya untuk membunuh Jaehyun?” tanya Jaemin dengan perlahan melangkah mundur karena Michael Serafino dan antek-anteknya bergerak maju.

Jaemin sedikit tersentak saat tiba-tiba tubuhnya ditarik pelan ke belakang. Ia memandang bagian belakang tubuh Jeno yang kini sudah ada di depannya.

Serafino memperhatikan Jeno dari atas smapai bawah. “Aku tebak ini pasti rekrutanmu, ya, Jaemin?”

“Kamu gak perlu tahu.” Jawabab yang diberikan Jaemin membuat Serafino tertawa mengerikan.

“Aku acungi jempol karena kamu pintar dalam merekrut, tidak seperti Jaehyun.”

Jaemin menggeser tubuhnya sedikit supaya dapat melihat Serafino melewati bahun Jeno. Ia menatap tajam pemimpin clan Romania yang paling disegani itu. “Jelaskan maksudmu membunuh Jaehyun.”

“Dasar tidak sabaran.”

Jaemin menjulurkan satu tangannya untuk menahan satu tangan Jeno ketika lelaki itu hendak menerkam Serafino yang melangkah maju.

Jeno menoleh ke belakang. “Kenapa?”

“Jangan. Ini bukan urusanmu. Aku tidak mau kamu kena masalah.”

Jeno memegang tangan Jaemin yang sempat menahannya, ia membalikkan kepalanya menjadi menghadap Serafino. “Sebentar.”

Setelah itu Jeno membawa Jaemin menjauh dari pintu gerbang. Ia membawa Jaemin ke dalam paviliun.

“Kenapa kamu membawaku kemari?” tanya Jaemin yang heran.

“Jaemin, apapun risikonya, urusanmu menjadi urusanku juga.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kita resmi menjalin hubungan.”

Tatapan Jaemin melembut. Ia mengangkat satu tangannya dan menangkup pipi kanan Jeno. “Aku tahu kamu khawatir. Tapi tolong kali ini jangan ikut campur. Serafino bukanlah vampir yang baik hati.”

Jeno menyandarkan kepalanya pada tangan Jaemin yang mulai mengusap pipi kanannya. “Jadi, namanya Serafino?”

“Michael Serafino, pemimpin clan Romania. Awalnya ia hanya menjadi pemimpin di salah satu kota yang ada di Romania, entah mengapa dia menjadi memimpin satu negara. Jaehyun adalah Slavenya. Dia mengubah Jaehyun karena dia tahu potensi Jaehyun yang kuat selama masih menjadi manusia. Ketika Jaehyun sudah direkrut olehnya, entah mengapa dia menjadi berbeda. Ini kata para pengikutnya yang lain, ya. Aku belum bergabung saat itu karena belum direkrut Jaehyun.”

“Aku tebak pasti ia takut kalah saing oleh Jaehyun makanya ia berubah.”

“Sepertinya begitu. Saat masih menjadi pengikut Serafino, Jaehyun menyukai salah satu manusia. Ia mulai melakukan hal-hal gila. Hingga akhirnya ia berhasil mengubah manusia itu menjadi sama seperti kita. Namun manusia itu gak terima, ia kabur sambil membawa tanah kuburannya.”

“Apa dia berhasil ditemukan?”

Jaemin menggeleng. “Belum. Kembali ke soal clan. Setelah mengubah manusia itu, kami gak tahu kalau kami udah jadi Daylighter. Kami udah kabur lebih dulu dari manornya Serafino. Setelah itu Jaehyun mengajakku untuk berkeliling mencari Taeyong, manusia yang diubah Jaehyun. Ketika kami menetap sementara di China, tepatnya di Beijing, Jaehyun memimpin clan.”

“Berapa lama dia memimpin clan?”

“Lima puluh tahun. Setelah mengetahui kalau dia bisa berjalan di bawah sinar matahari, dia mengundurkan diri dan membawaku pergi.”

Jaemin menarik tangannya dari pipi Jeno, membuat Jeno yang sedang menikmati usapan di pipi kanannya sedikit merasa kecewa.

“Aku harus kembali ke sana,” kata Jaemin, ia memajukkan wajahnya untuk memberikan sebuah kecupan ringan di bibir Jeno. Setelahnya ia keluar dari paviliun.

GF—18

Jaemin dengan cepat menyembunyikan tubuhnya dibalik dinding terdekat ketika Jeno membalikkan tubuhnya dengan cepat. Jaemin menekan punggungnya ke dinding saat suara yang ia kenali, suara langkah kaki, terdengar.

“Aku tahu kamu di sana, Jaemin.”

Jaemin memejamkan matanya sejenak, menghirup oksigen banyak-banyak meskipun tanpa oksigen ia juga bisa hidup, lalu membuka matanya kembali.

Jaemin menggeser tubuhnya hingga punggungnya tidak lagi menempel dengan dinding. Ia membalikkan badan dan melihat Jeno yang ada di depannya, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Dahi Jaemin mengernyit saat melihat Jeno hanya sendiri. Seingatnya Jeno pergi dari rumah mengajak Haechan.

“Kamu kayak lagi cari orang.” Jeno melangkah maju. “Cari Haechan?”

Jaemin tidak menjawab. Ia hanya diam sembari menatap Jeno yang kian lama kian dekat.

“Jaemin,” panggil Jeno. “Aku bukan anak kecil yang harus diawasi setiap saat.”

“Tapi kamu emang anak kecil, maksudku kamu itu termasuk golongan bayi vampir.”

Jaemin tetap menjaga ekspresinya saat Jeno mengeluarkan suara tawanya.

“Bayi vampir?” tanya Jeno dengan nada yang sedikit meledek.

“Kalau yang ada dipikiranmu bayi vampir adalah anak vampir yang masih kecil, kamu salah,” jeda Jaemin. Ia sengaja melakukannya karena menunggu Jeno berada tepat dihadapannya dulu. Setelah melihat Jeno berdiri tepat dihadapannya dengan langkah terhenti, ia kembali berbicara. “Bayi vampir adalah mereka yang baru saja menjadi vampir. Kalau kamu sudah sepuluh tahun pun kamu masih akan tetap tergolong bayi vampir.”

Jeno memasukkan satu tangannya ke dalam saki celana, matanya menatap tajam Jaemin yang ada di depannya. “Sampai berapa tahun seorang vampir tergolong bayi dikaumnya?”

“Sampai sepuluh tahun. Di tahun berikutnya sampai tahun kelima puluh, mereka tergolong balita,” jelas Jaemin, ia menjaga intonasi nada bicaranya agar tidak memancing amarah Jeno karena saat ini Jeno sudah terlihat sedikit menyeramkan.

“Kenapa kamu gak membiarkan perasaan kamu keluar? Kamu sengaja menahan berbagai perasaan kamu biar aku gak tahu apa yang lagi kamu rasakan, iya, kan?”

Jaemin paham ini tidak nyambung dengan topik di awal, tapi ia tahu mengapa Jeno penasaran dengan perasaannya. Sebagai Slave, pasti dapat merasakan perasaan Tuannya, selain itu Slave dapat merasakan rasa sakit yang dirasakan Tuannya.

Jaemin menjaga perasaannya karena ia tidak ingin Jeno tahu dan memanfaatkan itu agar ia mundur dan kembali ke rumah.

“Kenapa kamu begitu peduli sama perasaan aku?” tanya Jaemin.

Jaemin menanti Jeno menjawab pertanyaannya. Namun sampai beberapa menit ia juga tidak mendapat jawaban karena Jeno hanya diam.

“Kenapa kamu mengikutiku?” Bukannya menjawab Jeno malah melontarkan pertanyaan. “Kamu takut kalau Slavemu ini akan berbuat macam-macam sehingga kamu menanggung perbuatannya, begitu, kan?”

Jeno melangkah mundur, hanya satu langkah ke belakang. “Tenang saja. Tuanku tidak akan menanggung apapun karena perbuatanku dirahasiakan.”

Tangan Jaemin terkepal di sisi tubuhnya, wajahnya tidak menunjukkan perubahan apapun. Tiba-tiba tubuh Jaemin terjatuh ke aspal dengan rasa sakit pada pipi sebelah kanannya. Rasa sakit itu hanya sementara, setelahnya menghilang. Jaemin mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

Jeno baru saja meninjunya di pipi kanan. Gerakan Jeno begitu cepat dan tidak terduga.

Jaemin yang tubuhnya menghadap aspal, membalikkan badan dan melihat Jeno mengusap sudut bibir kanannya yang tidak kenapa-kenapa.

“Melukai Tuan sendiri adalah tindakan bodoh, Jeno,” ujar Haechan yang tiba-tiba sudah berada di samping Jeno. “Selain merasakan perasaan Tuannya, Slave juga dapat merasakan rasa sakit yang dirasakan Tuannya.”

Haechan bergerak maju hingga berada di depan Jaemin. Ia mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut Jaemin.

“Terima kasih,” ucap Jaemin setelah berhasil berdiri.

“Sama-sama.”

Haechan menggeser tubuhnya ke samping. “Jadi, Jaemin, kapan kamu akan mengatakannya?”

“Mengatakan apa?” Bukan Jaemin yang bertanya melainkan Jeno.

Haechan memandang Jaemin dan Jeno secara bergantian. Ia berdecih dan memutar bola matanya. “Jaemin menyukaimu, Jeno.”

Haechan yang mendapat tatapan tajam dari Jaemin kembali berbicara, seolah Jaemin bukanlah sesuatu yang membuatnya harus tutup mulut. “Tuanmu ini, Jeno, dia gengsi.”

Jaemin melebarkan matanya saat Haechan kembali menghilang dari pandangan, meninggalkan dirinya berdua dengan Jeno. Hanya berdua.

“A-aku harus kembali.” Jaemin merutuki diri sendiri karena ia tergagap.

“Aku juga harus kembali.”

Jaemin memandang Jeno seolah tak percaya dengan apa yang diucapkannya. Belum sempat Jaemin bertanya, Jeno sudah berada di sebelahnya, mengambil tangannya, menariknya pelan, membawanya pergi dari tempat itu.

GF—17

Jaemin yang sedang duduk di pinggir kasur langsung berdiri saat mendengar ketukan pada pintu kamarnya dan dengan kekuatan supernya telah berada di belakang pintu. Satu tangannya terjulur untuk memutar knop pintu. Pintu terbuka dan sosok Jeno yang tersenyum terlihat di baliknya.

Jaemin menggeser tubuhnya, memberikan gestur untuk mempersilahkan Jeno masuk ke dalam kamar. Ia langsung menutup pintu kamarnya setelah Jeno berada di dalam.

“Jaemin, aku minta maaf.”

Ada sedikit rasa tak suka dalam diri Jaemin ketika ia mendengar Jeno mengucapkan namanya alih-alih memanggil dengan panggilan yang biasa.

“Iya, aku udah maafin kamu,” kata Jaemin, menatap Jeno yang tengah melihat sekeliling kamarnya.

“Jaemin, ini aku gak tau benar atau gaknya,” kata Jeno, ia telah selesai melihat-lihat kamar Jaemin, tubuhnya kini menghadap Jaemin yang masih berada di belakang pintu. “Aku... bisa ngerasain emosi kamu.”

Jaemin yang bersandar pada pintu melipat kedua tangannya, menaruh di depan dada dan menatap langsung mata Jeno. “Memang bisa.”

Jaemin melihat perubahan di wajah Jeno. Ia bergerak dari tempatnya, berjalan maju menuju Jeno yang berada di samping kasur. Ia berhenti tepat beberapa centimeter di depan Jeno. “Kamu bisa ngerasain perasaan aku karena aku Tuanmu. Tapi, aku gak bisa ngerasain perasaan kamu.”

“Kenapa begitu?”

“Karena.” Jaemin melangkah maju, membuat jarak diantara dirinya dan Jeno menipis. “Kamu menelan darahku.”

“Tapi kamu juga menelan darahku.”

“Ya, memang. Tapi posisinya kamu masih manusia saat itu. Dan itu gak ada pengaruhnya buat aku.”

Hening. Percakapan antara Tuan dan Slave terhenti begitu saja. Jaemin memperhatikan Jeno yang terlihat berpikir.

“Jaemin,” panggil Jeno. “Aku rasa aku harus pergi dan memberikan tur rumah pada Mark dan Haechan.”

Jaemin baru saja berkedip dan Jeno telah menghilang dari pandangan. Kepalanya sedikir tertunduk, giginya saling menekan, dan pandangannya berubah tajam.

“Sialan.”

Lima Tahun Lalu

[ Jody's side ]

Anak-anak laki-laki kelas dua sekolah menengah pertama tengah berkumpul di sebuah ruangan yang memiliki banyak sofa di penginapan yang berada tak jauh dari pantai. Mereka terlihat membuat lingkaran dengan sebuah botol berada di tengah, salah satu dari mereka memutar botol tersebut.

Tutup botol mengarah pada Jody, yang mana cukup membuat ia merasa sedikit takut. Takut kalau teman-temannya akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang gila.

“Jadi, dare buat lo itu...”

Jody menunggu temannya yang sedang berpikir itu. Jemari tangannya saling bersentuhan satu sama lain, bibirnya sedikit dikulum.

“Dare lo itu bilang kalau lo suka sama kak Tirta sambil direkam.”

Jody betul-betul terkejut, kedua matanya melebar seperti telur yang digoreng. “Lo udah gila.”

“Jo, dare adalah dare. Udah jalanin aja sih.”

“Tapi jangan disebar,” pinta Jody.

“Gak janji,” ucap salah satu teman Jody dengan diakhiri senyuman jahil.

“Gue gak mau,” ujar Jody.

“Payah. Bukan laki-laki sejati lo.”

Jody tersinggung mendapat ejekan dari temannya. Ia mengambil ponsel salah satu temannya yang sudah siap sedia untuk merekam dirinya. Ia arahkan ponsel yang layarnya sudah menampilkan mode merekam ke dirinya.

“Tirta, aku suka sama kamu.”

Salah satu teman Jody memekik tertahan setelah kalimat itu meluncur dari bibir Jody.

Jody mengembalikan ponsel itu pada temannya dan memilih untuk pergi dari ruangan itu.


Pintu kamar Jody diketuk pelan, membuat ia yang sudah berbaring dengan selimut yang menutupi tubuhnya sebatas dada menghembuskan napas kesal. Pasalnya ia sudah siap untuk mengarungi dunia mimpi.

Jody menyibak selimut dan bergerak dari atas kasur. Ia berjalan ke arah pintu dengan langkah malas.

“Tirta?” Jody menaikkan alisnya ketika melihat sosok Tirta berada di balik pintu.

“Boleh gue masuk?” pinta Tirta.

“Boleh.”

Jody menggeser tubuhnya, mempersilahkan Tirta memasuki kamar sementaranya. Ia kembali menutup pintu saat Tirta sudah berada di dalam kamar.

“Sebelumnya gue mau minta maaf, gue pasti ganggu lo,” ujar Tirta setelah ia mendudukkan diri di kasur, wajahnya terarah pada Jody.

Sejujurnya Jody memang sempat kesal tetapi ketika mengetahui Tirta adalah orang yang mengganggunya, rasa kesal itu hilang begitu saja.

“Gak, kok.” Jody berjalan ke arah kasur dan duduk di sebelah Tirta. “Lo ada perlu apa kemari jam segini, Ta?”

Tirta memutar tubuhnya menjadi menghadap Jody. “Ada yang mau gue omongin.”

“Tentang?”

“Perasaan gue.” Sempat ada jeda sebelum Tirta mengatakannya.

Dahi Jody mengernyit. “Kenapa sama perasaan lo?”

Jody yang tak terbiasa matanya ditatap langsung secara dalam itu sedikit salah tingkah.

“Aku juga suka sama kamu, Rai.”

Jody kaget bukan main. Tidak pernah disangka kalau Tirta akan mengatakan sesuatu yang seharusnya dapat membuat dirinya merasakan kebahagiaan. Tapi saat ini ia tidak merasakan apapun, atau ia sedang berusaha untuk tidak merasakan apapun.

“Ta... lo pasti udah liat video yang di post temen gue, ya?”

Tirta mengangguk. “Iya, Rai.”

“Begini.” Jody menjelaskan. “Itu gue lagi main dare or dare sama temen-temen gue.”

Jody melihat kilatan kecewa di mata Tirta. Tapi ia berusaha untuk tidak memedulikan itu.

“Terus... kata-kata di kartu ucapan ulang tahun gue tadi pagi itu apa?”

Jody sedikit melebarkan matanya. Ia berusaha mencari alasan yang menurutnya tepat. “Itu cuma bercanda. Gue sempet denger salah satu temen lo bilang kalau lo suka sama gue. Jadi, gue buat kartu ucapannya begitu.”

Itu adalah kesalahan terbesar Jody yang membuatnya menyesal hingga bertahun-tahun. Karena berusaha untuk menolak perasaannya sendiri, ia harus kehilangan Tirta, sahabat sekaligus seseorang yang berarti dalam hidupnya.

GF—16

Pintu paviliun berukuran sedang itu terbuka dan menampakkan sosok Jaehyun yang terlihat kebingungan. Matanya bergerak kesana kemari, mencari sosok Jaemin yang tidak terlihat di sana.

Jaehyun terkejut saat peti mati milik Jeno terbuka dan menampakkan Jeno dan Jaemin di dalamnya.

“Kalian tahu kalau peti mati itu sempit. Kalau ingin melakukannya bisa bilang padaku agar aku bukakan pintu.”

Jaehyun mengedikkan bahunya saat mendapat tatapan tajam dari Jaemin. Sementara Jeno menatapnya bingung.

“Kami hanya tidur,” kata Jeno.

Jaehyun berjalan ke arah Jeno dan Jaemin berada. “Kalian mau tidur atau mau melakukan apapun, itu terserah. Sekarang saatnya berangkat. Kita gak mau buat Haechan nunggu lama.”

“Jaemin boleh ikut, kan?” tanya Jeno dengan nada memohon.

Jaehyun menatap Jaemin yang membuang muka. “Jika dia mau.”

“Baiklah. Tapi kami berdua belum makan sama sekali.”

Jaehyun sedikit tidak percaya dengan pernyataan Jeno. Pasalnya Jeno menemani Jaemin berpuasa.

“Kalian makan dulu.”

“Jaemin boleh ikut makan?” Jeno bertanya dengan penuh harap.

“Tadi aku bilang kalian. Berarti kamu dan Jaemin.”

Jeno tersenyum senang. Ia berdiri dan mengambil kantung belanja berwarna hitam itu. Ia membawanya ke dalam peti dimana Jaemin masih duduk di sana.

“Ini.” Jeno memberikan satu kantung darah pada Jaemin.

Jaemin menerimanya dan langsung membuka tutupnya. Ia meminum darah yang ada di dalam sana dengan rakus. Sangat berbeda dengan Jeno yang meminum darah itu dengan begitu santai.

Jeno dan Jaemin telah selesai makan, dengan Jaemin yang meminum tiga kantung darah sementara Jeno hanya satu. Mereka beranjak dari dalam peti hampir di waktu bersamaan, membuat Jaehyun menahan senyumnya.

“Ayo, berangkat!”