” LOST “
Sore hari terasa sangat gelap bagi Jeno dan Jaemin yang tersesat di dalam hutan yang dipenuhi pepohonan karena kesalahan salah satu dari mereka. Mereka sedang mengikuti acara perkemahan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan setiap tahun. Salah satu panitia meminta bantuan pada Jeno untuk mengumpulkan kayu bakar. Jeno membantu panitia yang juga kakak tingkatnya itu. Ia mengajak Jaemin yang saat itu tengah sibuk menata makanan di dalam tenda yang ditempati Jeno dan Jaemin.
Jaemin yang terlalu malas untuk bergerak itu tidak mau membantu Jeno. Ia lebih memilih berada di dalam tenda dengan makanan kesayangannya dibandingkan menelusuri hutan yang belum pernah ia telusuri sebelumnya. Karena ia tidak tega melihat kekasihnya terus menerus memasang wajah melas, mau tak mau ia mengangkat bokongnya dan pergi meninggalkan tenda.
Dan di sinilah keduanya berada, di tengah-tengah hutan yang gelap. Cahaya hanya masuk ketika dedaunan tertiup angin.
“Kau tidak ingat jalannya? Sama sekali?” tanya Jaemin pada Jeno yang berjalan di depannya dengan lampu senter yang menyorot ke depan.
“Tidak,” jawab Jeno singkat.
Jaemin menghela napasnya. Ia belum pernah ikut acara bertahan hidup di dalam hutan, jadi ia tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan diri dari dalam hutan yang dipenuhi pepohonan.
“Ini salahku,” aku Jeno. Ia berhenti berjalan dan berbalik menghadap Jaemin. “Seharusnya aku membuat tanda di pohon atau di tanah agar kita tidak tersesat.”
“Hei, Jeno,” panggil Jaemin. Ia berjalan mendekat hingga satu tangannya dapat menyentuh pipi kanan Jeno. “Ini bukan salahmu. Ini adalah salah orang itu.”
Jeno memejamkan matanya saat kedua pipinya mendapat usapan lembut dari ibu jari Jaemin.
Jaemin menarik kembali tangannya dari pipi Jeno. Ia mengulas senyum saat Jeno membuka kedua mata. “Ayo, terus berjalan.”
Jeno mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil tangan kiri Jaemin. Ia membawa tangan yang mulai dingin itu ke dalam genggaman hangat. Ia menatap Jaemin yang juga tengah menatapnya. “Kita pasti bisa kembali.”
Keduanya kembali berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut.
Matahari sudah mengundurkan diri dari tempatnya sejak tiga puluh menit yang lalu. Langit yang cerah kini berubah gelap. Hanya ada beberapa bintang dan bulan yang menerangi malam. Suara hewan-hewan malam mulai terdengar di dalam hutan, membuat Jeno dan Jaemin yang masih mencoba mencari jalan keluar bergidik.
Jeno merasakan kalau kekasihnya tidak nyaman. Entah apa yang membuat Jaemin begitu, tapi menurut Jeno karena hutan semakin gelap dan suara-suara hewan yang seolah-olah bersahutan terdengar. Ia mengeratkan genggamannya, berharap dapat membuat rasa tak nyaman yang Jaemin alami secara perlahan hilang.
“Sayang,” panggil Jeno. “Kalau aku tidak salah ingat, malam ini bulan akan penuh.”
Jaemin menoleh ke arah Jeno dengan cepat. “Maksudmu bulan purnama?”
Jeno yang tadinya fokus menatap jalanan dengan penerangan dari senternya, melihat Jaemin yang masih melihatnya. “Iya. Bulan purnama akan terjadi malam ini. Untuk waktunya aku tidak tahu pasti.”
Jeno memperhatikan wajah Jaemin yang memperlihatkan raut ketakutan. Bola mata Jaemin bergerak kesana kemari untuk beberapa detik.
“Hei, sayang,” panggil Jeno. Ia melepaskan genggaman di tangan Jaemin. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup wajah Jaemin. Senter ia arahkan ke salah satu pepohonan. Ia menatap lembut Jaemin yang masih terlihat ketakutan. “Di sini ada aku, jangan takut. Kau tidak sendiri.”
Jaemin menurunkan pandangan. “Aku takut sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi.”
Jeno membawa tubuh kecil Jaemin ke dalam pelukannya. Satu tangannya memberikan usapan lembut di kepala Jaemin bagian belakang. Sedangkan satu tangannya lagi menepuk pelan punggung Jaemin.
“Jeno, sebaiknya kau lepas pelukanmu.”
Dahi Jeno mengerut saat mendengar permintaan Jaemin. Tidak biasanya Jaemin begini. Bahkan membalas pelukannya saja tidak.
“Kenapa?” tanya Jeno yang masih memeluk tubuh kecil Jaemin.
“Cepat lepaskan sekarang.”
Suara Jaemin terdengar memaksa di telinga Jeno. Dengan berat hati Jeno melepaskan pelukannya. Ia merasa sedih saat Jaemin langsung menjauhkan diri dari Jeno setelah terlepas dari dekapannya. Kepalanya terdongak dan melihat langit malam dari sela dedaunan yang rimbun tertiup angin. Di atas sana bulan sudah penuh.
“Sayang, lihatlah bulannya. Bulan sudah penuh.”
Jeno mengalihkan pandangannya pada Jaemin. Ia berusaha menerka-nerka apa yang sedang terjadi pada Jaemin. Kekasihnya terlihat kesakitan.
“Jaemin, kau baik-baik saja?” tanya Jeno sambil mendekat. Ia sangat mengkhawatirkan kekasih manisnya itu.
“Pergi,” suruh Jaemin pada Jeno. Tubuhnya yang tadi berdiri kini terjatuh berlutut. Kepalanya tertunduk mengarah ke tanah.
“Jaemin...”
“Jeno, aku mohon. Pergi. Lari. Sembunyi.”
“Tapi-”
“Sekarang, Jeno!”
Untuk pertama kalinya Jaemin meninggikan suaranya pada Jeno yang membuat Jeno merasa sakit di hatinya. Tapi itu tidak membuat Jeno ingin pergi meninggalkan Jaemin sendiri di tengah hutan dalam keadaan kesakitan.
“Jeno, aku bilang pergi sekarang.” Jaemin mengangkat kepalanya untuk melihat Jeno yang berdiri di depannya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. “Kumohon.”
Bukannya menuruti perkataan Jaemin, Jeno malah menyejajarkan tubuhnya dengan Jaemin. Ia menangkup wajah Jaemin dengan kedua tangannya. Dengan perlahan wajahnya maju hingga bibirnya bersentuhan dengan bibir kekasihnya.
Jeno tersentak saat tubuhnya didorong menjauh. Ia meringis saat punggungnya menyentuh tanah yang berbatu.
“Maafkan aku.” Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Jaemin.
Jeno melotot saat melihat gigi-gigi Jaemin berubah menjadi tajam ketika Jaemin berteriak menghadap ke atas. Urat-urat Jaemin mulai terlihat. Kuku-kuku jari tangan Jaemin berubah menjadi sangat runcing dan bulu putih mulai tumbuh di tangannya. Badan Jaemin mulai membesar hingga membuat pakaiannya tersobek-sobek.
Jeno ingin kabur saat itu juga namun tubuhnya serasa mati rasa. Ia tidak dapat bergerak. Yang ia lakukan adalah diam di tempat sambil melihat Jaemin berubah menjadi makhluk berbulu putih dengan moncong dan berkaki empat.
Bulu kuduk Jeno meremang saat sebuah lolongan panjang keluar dari moncong makhluk yang ada di hadapannya.
Jeno menelan air liurnya saat makhluk berkaki empat itu menatapnya dengan mata biru yang terlihat berkilau. Ia mulai bergerak mundur dengan menggunakan sikunya saat makhluk itu bergerak maju.
“Jaemin, ini aku Jeno.”
Serigala putih itu seperti tuli. Ia terus bergerak maju hingga berhasil berada di atas tubuh Jeno yang ketakutan. Geraman pelan ia keluarkan saat melihat mangsanya sudah berada di bawah kungkungannya. Air liurnya dengan perlahan turun hingga mengenai wajah Jeno.
Jeno menahan kedua kaki depan serigala putih dengan kedua tangannya saat makhluk itu hendak menyerangnya. Sekuat tenaga Jeno menahan kedua kaki depan serigala itu yang sangat kuat.
Jeno berteriak kesakitan saat cakar serigala itu berhasil mengenai leher bagian atasnya yang kemudian mengeluarkan darah. Ia menggigit bibir bawahnya sambil mengatur napas. Rasa sakit di lehernya sangat terasa.
Serigala itu melolong setelah berhasil melukai mangsanya. Lolongannya terdengar hampir di seluruh penjuru hutan. Serigala itu kembali melihat mangsanya yang terlihat sangat kesakitan dan pasrah. Ia memajukan wajahnya pada mangsanya. Gerakannya terhenti saat matanya tak sengaja melihat benda berkilau dari balik kemeja yang Jeno kenakan. Benda berkilau yang ternyata adalah kalung perak yang Jaemin belikan ketika Jeno berulang tahun.
Serigala putih itu memundurkan wajahnya. Ia tahu kalau ia tetap memaksakan memakan mangsanya yang memakai kalung perak yang merupakan kelemahannya, maka ia akan mati. Serigala itu mundur perlahan hingga tubuhnya sudah tidak mengukung Jeno. Kemudian serigala itu mengecil, bulu-bulu putihnya mulai hilang beserta gigi tajam dan cakarnya. Serigala itu berubah menjadi manusia yang tidak mengenakan pakaian apapun.
“Oh, astaga, Jeno,” ucap Jaemin ketika melihat Jeno dengan leher berdarah di depannya. Ia langsung bergerak menuju tempat Jeno berada. Di bawanya kepala Jeno di atas pahanya yang tidak terbalut apapun. Seharusnya Jaemin merasa malu karena sebelumnya ia tidak pernah telanjang di depan umum dan di depan Jeno. Tapi saat ini Jaemin mengesampingkan perasaan itu.
“Terima kasih karena tidak memakanku,” ujar Jeno dengan susah payah.
Jaemin merasa sangat bersalah. Air mata terlihat mulai berkumpul di pelupuk mata Jaemin.
“Kenapa kau menangis, sayang?” tanya Jeno yang merasa sakit di hatinya jika melihat Jaemin menangis.
“Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf.”
“Hei, tidak apa-apa. Kau lihat aku masih hidup.”
Jaemin tidak suka jika Jeno berbicara. Pasalnya ia sedang kesakitan dan darah yang keluar dari lehernya sangat banyak. Jaemin mau Jeno diam saja.
Jaemin memandang kalung perak yang ada di leher Jeno. Ia memegang kalung perak itu. Matanya menatap mata Jeno. “Lepas kalungnya, ya?”
“Kenapa?” tanya Jeno dengan suara yang lemah.
Jaemin tidak menjawab. Ia mulai memutar kalung itu hingga menemukan kaitannya. Ia melepaskan kaitan kalung itu dengan satu tangan. Kalung perak itu terlepas sepenuhnya dan langsung Jaemin buang jauh-jauh.
“Kenapa kau buang, Jaemin?”
“Kau bisa mati kalau memakai itu.”
“Apa maksudmu?”
Jaemin menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Dengan memberanikan diri ia menatap langsung mata Jeno. “Aku hanya mencakarmu dan tidak membunuhmu. Aku minta maaf karena mengubahmu, Jeno. Kau akan menjadi sepertiku. Kau akan menjadi makhluk mitos berbulu dan berkaki empat. Kau akan menjadi Manusia Serigala.”
Jaemin menengadah, ia melihat bulan yang masih penuh itu dari sela dedaunan yang tertiup angin. “Kau akan berubah malam ini selama bulan purnama masih berlangsung. Tapi tenang saja karena aku akan menemanimu.”
Tak lama Jaemin mengatakan itu, Jeno mulai merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya. Ia merasakan gigi-giginya memanjang, jari-jarinya berubah runcing, dan badannya dipenuhi bulu berwarna abu-abu.
Jaemin sedikit menjauh dari Jeno saat kekasihnya itu tengah berubah. Ia memperhatikan bagaimana tubuh Jeno berubah besar hingga membuat pakaiannya robek.
Jeno telah berubah sempurna menjadi serigala abu-abu bermata hazel yang lebih besar dari Jaemin. Ia menengadahkan kepalanya dan melolong. Setelah puas melolong ia menatap Jaemin yang masih berwujud manusia. Ia tidak menyerang Jaemin karena ia tahu Jaemin sama sepertinya.
Jaemin membiarkan tubuhnya berubah kembali menjadi serigala putih. Ia bergerak maju dengan perlahan dengan mata biru yang tidak pernah lepas menatap mata hazel yang ada di depannya. Setelah dekat ia menyentuhkan moncongnya pada moncong Jeno, lalu ia mempersatukan keningnya dan Jeno.
Kemudian Jeno mengajak Jaemin berlari di tengah hutan di bawah bulan purnama. Kedua serigala itu berlari dengan cepat dan menghilang dibalik pepohonan.